Kamis, 10 Maret 2011

DERITA PEREMPUAN KORBAN PETUALANG CINTA

Sore itu, sebelum matahari pulang, Tukinah ( bukan nama sebenarnya) terlihat terpengkur, pandangan mata nampak kosong, jauh menatap hari esok yang kian tak menentu. Betapa tidak! Kematian akan suaminya dua tahun yang lalu terus mengingatkan luka lamanya. Yah, kepergian sang suami meninggalkan kenangan pahit yang harus ditanggung wanita berusia 40 tahun itu. Derita seumur hidup tak kan hengkang, terus menemani.

Tukinah, ibu satu anak itu dinyatakan terinfekasi HIV positif. Awalnya, perempuan berkulit sawo matang, berparas cantik itu memang tidak menyadari dirinya terinfeksi HIV. Batuk yang dideritanya hampir satu bulan lebih membuat dia untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Betapa terkejutnya, setelah diperiksa oleh dokter, hasil diagnosanya meminta Tukinah untuk menjalani pemeriksaan darah. Dari hasil pemeriksaan darah itu diketahui bahwa Tukinah terinveksi HIV.

Usut punya usut, Tukinah yang terkenal sederhana, ramah, baik hati dan taat beragama itu terinvekasi HIV dari suaminya yang kesehariannya sering bergaul dengan Wanita Pekerja Seks ( WPS). Suaminya, pelanggan tetap perempuan -perempuan di beberapa lokalisasi. Hobi bersuka gembira dengan perempuan jalang itu tak cukup dengan kegembiraan yang ia dapat. Duka cita menemani kepergian nyawa dan duka derita pada istri tercintanya. Perempuan yang telah ia tinggalkan masih harus menerima duka yang begitu dalam.

Cuma sekadar memuaskan nafsu sahwatnya, lelaki itu harus mengorbankan diri dan istri. Tukinah. Kematian, yang telah meninggalkan duka itu begitu sulit untuk dilupakan. Kebencian teramat mendalam, duka terus saja mmeyelimuti di sebagian sisa hidupnya.

Suaminya memang terkenal lelaki petualang cinta. Perihal seks, lelaki tiga anak itu memang tak tanggung-tanggung. Sudah ”jajah desa milangkori” berpuluh-puluh perempuan suadah dinikmati. Setiap sudut-sudut kota yang menyajikan kenikmatan sesat itu dia pahami betul. Bahkan gang-gang kecil yang tidak tergambar dalam peta sudah pernah ia singgahi. Hingga virus mematikan itu turut serta merenggut dan mengakhiri petualang cintanya.

Tukinah, bukanlah satu-satunya perempuan yang harus menerima ulah getir suaminya. Masih banyak perempuan yang harus menerima pahit tanpa menikmati yang manis-manis. Betapa tidak? Lelaki yang ” Mangan Nangkane, Istri yang gupak pulute,” bersenang-sengang sendirian dan bebagi-bagi duka bersama. Kasus lain seperti yang diderita Lanny perempuan korban cinta yang begitu kuat memaknai cinta, bahkan ia terlalu sulit untuk mengatakan tidak dan meninggalkan pacar yang bermasalah. Begitu sulit membedakan cinta dan iba, kesulitannya untuk tegas kepada sang pacar, kenaifannya bahwa orang akan berubah demi cinta, membuatnya tak berkutik ketika diajak menikah. Lanny akhirnya menjadi perempuan kodependen. Betapa ia akan menerima hadiah cinta dengan status sebagai perempuan positif HIV/AIDS.

Maka tak mengherankan bahwa distribusi kasus HIV dan AIDS menurut jenis pekerjaan di Propinsi Jawa Tengah banyak diderita oleh perempuan penjaja seks. Sedangkan urutan ke dua ditempati oleh perempuan ibu rumah tangga. ( Laporan Estimasi Populasi Rawan Tertular HIV 2006, Depkes- KPA)

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks memang sangat tinggi apalagi hubungan seks dengan gonta-ganti pasangan ( heteroseksual). Dari daftar yang disampaikan oleh Depkes da KPA fektor risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas ( free seks ) mencapai 72%. Maka tak mengherankan jika kasus yang diterima oleh lelaki penjaja seks di lokalisasi sangat rentang dengan penyakit mematikan itu.

Perempuan penjaja seks, pelacur, perempuan dilacurkan (pedila), wanita tuna susila (WTS), ciblek, sampah masyarakat, atau apa sebutannya, sangat beresiko terhadap penyakit mematikan itu. Betapa tidak? Perempuan yang mendapat status sebagai penjual dipersepsikan sebagai kaum yang harus nurut terhadap pelanggan. Sehingga upaya untuk membentengi diri dari penyakit HIV/AIDS tidak kuasa mereka lakukan. Anjuran mengenakan sarung (kondom) yang kian gencar disuarakan tak mampu mecegah para pengguna perempuan itu. Bahkan lelaki hidung belang itu tidak jarang yang menolak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dengan alasan kurang nikmat.

Yah, keberadaan Wanita Pekerja Seks ( WPS) memang sangat kontraversial. Maka tak sedikit yang berkomentar miring tentang keterkaitan AIDS dan WPS. Banyak yang menyalahkan, mengapa berkeinginan untuk tidak terserang HIV/AIDS kok menjadi WTS? Terlepas dari pro dan kontra, yang jelas, WPS, WTS atau wanita pelacur dan pelanggannya yang jelas ada. Dan kedua-duanya mempunyai peluang sebagai penyebar penyakit tersebut. Perempuan penjual jasa seks sebagai penjual sedangkan lelaki sebagai pembeli dan penikmat mempunyai resiko yang sama terhadap penularan penyakit mematikan itu. Maka keberadaan perempuan penjaja seks itu perlu diperhatikan, agar penularan HIV/AIDS terkendalikan. Bukan berarti penulis pro terhadap keberadaan WTS, begitu juga penulis tidak kontra terhadap WTS.

Benarkah hanya perempuan dan lelaki penikmat yang sering tertular HIV/AIDS. Justru malah sebaliknya! Orang kaya dan berduit juga rentan terhadap penyakit mematikan itu. Menurut Buku Laporan Estimasi populasi Rawan Tertular HIV tahun 2006, Depkes-KPA bahwa pengguna narkoba dengan jarum suntik di Jawa Tengah mencapai 39%. Bukankah tranfusi darah, pengguna narkoba, homoseksual juga rentan terhadap HIV/AIDS?


Bagaimana pencegahan HIV/AIDS? Risiko tinggi penularan HIV/AIDS memang paling banyak pada pekerja seks, langganan pekerja seks, pecandu narkoba dengan suntik, istri/pasangan seks, bayi/ anak.

Usaha untuk mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan penghuni lokalisasi bisa dilakukan dengan penerapan izin. Layaknya surat izin mengemudi (SIM), mereka boleh beroperasi hanyalah wanita pekerja seks pemegang izin. Untuk mendapatkan izin tersebut WPS harus melalui sejumlah pemeriksaan, termasuk di antaranya HIV/AIDS. Izin tersebut sebaiknya diperbaharui setiap tiga bulan sekali. Demikian itu wacana yang pernah disampaikan oleh dokter Budi Laksono.

Barang kali bukan hanya itu, resos sebagai pihak yang paling dekat dengan pedila mestinya harus memiliki kesepakan lokal yang lebih pro terhadap pedila. Kesepakan lokal (resos) mestinya harus bertanggung jawab penuh terhadap penggunaan kondom yang pro pedila. Resos dan pedila berkewajiban menolak tamu yang tidak mau menggunakan kondom. Kesepakatan itu haruslah diimbangi dengan sanksi bagi pelanggar kesepakatan lokal (pengurus resos, mucikari,temu dan pedila). Jaminan keamanan pedila jika menolak tamu memakai kondom atau tidak membayar menjadi skala prioritas. Yang tak kalah menariknya, mekanisme sanksi jika terjadi pelanggaran haruslah jelas.

Pencegahan tehadap HIV/AIDS dengan pendekatan ABC ( tidak berhubungan seks bila bukan dengan pasangan, setia pada satu pasangan, atau menggunakan kondom) sudah tidak tepat lagi. Bagaimana kompleknya permasalahan HIV AIDS ini sehingga Epidemi HIV/ AIDS bukan hanya tanggung jawab pedila dan pengguna melainkan tanggung jawab bersama, pengambil, pelaksana, pengawas kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, media massa, dan partai politik.

Yang jelas memakai kondom dan lain sebagainya tak akan menyelesaikan penularan penyakit itu. Justru menjahui perbuatan mesum dengan gonta-ganti pasangan, menghindari narkoba, dengan meningkatkan keimanan dengan melaksanakan perintah-Nya adalah pilihan cerdas.

PEREMPUAN DI NISTA SIAPA YANG BELA?

Lelaki Bersenjata itu, Kekasihku!

Lelaki itu datang ke kotaku
Bersama ribuan lainnya
Dengan seragam
Senjata
Sepatu laras

Lelaki itu menemaniku dengan ’cinta’
Malam itu kami bersetubuh
Ia berjanji menikahiku

Waktu di tugaskan ke Palu
Dia berpesan” jangan gugurkan kandunganmu”

Bulan terang di Morowali
Waktu memintaku datang ke Palu
Untuk menikah

Di Jabal Nur
Dia memasukkan obat aborsi ke Tubuhku
Agar ia tidak dipecat kesatuannya

Pernikahan itu tidak pernah terjadi

Aku menghiba pada lelakiku
Dia memaksa dukun memasukkan kayu 30 cm
Ke vaginaku
Aku pingsan

Kekasihku dimana?

Esoknya
Kayu 30 cm
Merusak vagina dan rahimku lagi
Aku pingsan bersimbah darah

Kau MANUSIA?

Waktu janin janin berumur 4 bulan
Ia memaksa aborsi yang ke 6 kalinya

Pernikahan itu tidak pernah ada

Kalau tidak?
Ia akan menembakku

Aku melaporkan ke PROFOS
Dan ia menuduhku perempuan jalang

Anakku gugur di rahimku
Waktu umur 7 bulan 16 hari

Lelaki itu akan mengawiniku
Jika laporan ke PROFOS aku cabut

Satu tahun berlalu

Peradilan militer tidak pernah terjadi

Hanya surat pencabutan perkara
Yang tidak pernah aku tandatangani
Lelaki bersenjata itu
Dan GEROMBOLANNYA!!!

(Dewi Nova, dalam Burung-Burung Bersayap Air, 2010)

“Laki-laki adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kaum perempuan).” ( An-Nisa’: 34)

Ya, perempuan, (istri) memiliki kedudukan secara harfiah lebih rendah dibanding laki-laki. Kekuasaan perempuan berbatasan dengan benturan-benturan dari pemaknaan yang masih selingkup tafsir harfiah. Perempuan tidak lagi subyek , melainkan obyek yang termaginalkan, semua yang berkait erat dengan realitas kehidupan mendiskreditkan perempuan hingga perempuan tak berpeluang. Pemimpin adalah laki-laki.

Tidak juga keluarga, perdebatan dalam kancah politikpun kadang mengesampingkan kecerdasan perempuan. Semisal, isu yang dibangun oleh lawan politik_ yang diketuai oleh perempuan Megawati_ membatasi gerak perempuan untuk maju ke tahta kepresidenan. Terang dan gamblang bahwa imam itu harus lelaki, tidak perempuan.

Terlepas dari benar atau salah dari pemaknaan itu, perempuan memang lemah secara fisik, pikiran maupun kepribadiannya. Lemah-lembut, perasa merupakan identitas fisik makhluk yang pingin dipuja itu. Tak, mengherankan jika perempuan dalam mempertahankan diri jarang menggunakan kekuatan fisik. Cukup dengan mengeluarkan air mata, menangis, lelaki akan bersimpuh, bertekuk lutut. Tak sedikit merengek meminta ampun, dan mengatakan “ Besuk tidak akan mengulagi”.

Perempuanlah orang pertama kali menangis, tatkala menyaksikan tragedi memilukan, keadaan memprihatinkan. Sekalipun air mata mengering, jika memang kemauan perempuan belum terselesaikan, tak kan pernah menghentikannya.

Peluang ini yang selalu, dimanfaatkan oleh lawan atau pasangan untuk meniadakan peluang perempuan untuk berekspresi, berpolitik, mengaktualisasikan kemampuan untuk kesejahteraan kaumnya. Tidak sedikip para laki-laki ( suami ) yang memanfaatkan keperkasaannya dengan meniadakan peluang perempuan menjadi makhluk yang mulia.

Surga nunut neraka katut.
Penghargaan terhadap perempuan tidaklah hasil keringat, usaha keras, hasil pemikiran makhluk cerdas melainkan bentuk hadih dari pasahan hidup. Benarkah perempuan tidak layak mendapatkan penghargaan karena hasil kerja dan pikiran cerdas? Atau sekadar, makhluk lemah yang perlu dikasihani? Bahkan hanya sebuah obyek, siap menerima perlakuan apa pun, oleh siapapun, tanpa batas, kapan dan dimana? Pasif, tak berdaya, diharuskan untuk menerima adanya.

Sebegitu besar bentuk pengekangan kreatifitas perempuan. Tak mengherankan jika opini yang terbangun semakin menguatkan tembok-tembok penghalang gerak perempuan. Semakin jauh panggang dari api, perempuan tak layak mendapatkan kemuliaan. Tatkala usaha keras, tidak menghasilkan pengakuan. Begitu sebaliknya, tatkala pasangan hidup ( suami )mendapatkan ketidakpastian karena ulah pribadi sendiri tanpa melibatkan perempuan, pasangan hidup (istri), perempuan siap menjadi penanggung jawab. Menyedihkan!

Maka tidak sedikit, laki-laki yang mamaknai, bahwa perempuan memang pantas untuk dieksploitasi. “ Istri-istri kamu seperti sawah (ladang) bagi kamu, maka tanamlah di sawah itu sebagaimana yang kamu inginkan “. (Al-Baqarah : 223). Sebegitu kuatkah kekuasaan laki-laki sebagai subyek dalam kesepakatan kolektif yang disaksikan oleh penghulu dalam merajut perkawinan. Sebegitu lemahkah perempuan?

Ya, perempuan memang sebagai obyek yang boleh di “ tanami “ menurut kemauan pasangan lain jenis. Tetapi jangan lupa Tuhan SWT, menghendaki laki-laki (Suami) menjadi petani yang baik. Berhak bercocok tanam di seluruh sawah yang dia miliki, di mana yang dia sukai, tak ada suatu larangan apa pun. Ia berhak melakukan sesuatu asal masih dalam lingkungan tanah sawah yang dia miliki itu.

Ya, tak jarang kekerasan rumah tangga yang terjadi akhir-akhir ini karena kesalahan pemaknaan terhadap tafsir. Bahkan kekerasan itu terjadi berangkat dari ketidak sepahaman sebagai kerja kolektif dengan berbagi Sepenggal, tanpa melihat sebab dan akibat dari beberapa wahyu
“Istri-istri yang kamu takuti kedurhakaan mereka, berilah nasehat, berpisahlah tidur kamu dari mereka, dan pukullah mereka itu “. ( An-Nisa’: 34) laki-laki dapat melakukan apa saja termasuk kekerasan fisik ( memukul). Apakah memang benar, laki-laki dapat melakukan hal itu?

Laki-laki pun lebih, berhak, atas harta yang diwariskan oleh kedua orang tuanya yang telah meninggal. “ Lidz-dzakri mitslu hazhzhil-untsayain ( QS An-Nisa’: 11). Anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.

Rasa keadilan memang sulit dipahami, dilogika dengan nalar yang tidak berkehendak baik. Semisal, anak kecil akan menangis manakala orang tua dianggap berlaku tidak adil karena memberikan uang lebih banyak terhadap kakaknya. Benar! Orang tua tidak adil, jika kita hanya melihat dari dari jumlah rupiah yang dibagikan.

Melihat konsep kehidupan keluarga sebagai konsepsi dari persetujuan kerja kolektif tidaklah bijak jika lelaki saja yang berhak atas segalanya. Tidaklah bijak pula jika Konsep Ekonomi keluarga tidak memberikan peluang perempuan untuk ikut bertanggung jawab atau berhak atas kehidupan bersama. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,” Hak (nafkah) istri yang dapat ditermanya dari suaminya seimbang dengan kewajibannya terhadap suaminya itu dengan baik ( 228). Maka tidaklah tepat jika laki-laki semena-mena “ Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan halal bagi kamu mencampuri mereka dengan kalimat Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (istri-istri) dengan cara yang sebaik-baiknya ( pantas)”. ( Riwayat uslim)


Ketergantungan perempuan (istri ) terhadap keberadaan suami memang tidak dapat dipungkiri. Tetapi juga sebaliknya, laki-laki pun butuh isteri. Simbiosis mutualisme, sayur tanpa garam, kurang lezat/nikmat jika salah satu unsur ada yang hilang.

Meski tidak sedikit, banyak, perempuan yang mampu mengambil alih peran laki-laki, pemaknaan persamaan gender hanya sebagai wacana. Perempuan sebagai subyek tak mampu menunjukkan keakuannya. Lihat saja, pemilihan anggota legeslasi di negeri ini. Meskipun jumlah perempuan lebih banyak, tak ada separoh jumlah anggota legislasi seluruhnya.

Siapa yang bertanggung-jawab? Pemerintahkan? Lelakikah! Mestinya tidak! Keberhasilan tidak datang dari mana-mana.

Terus! Bagaimana dengan pengakuan perempuan dalam rumah tangga oleh laki-laki? Perbedaan laki-laki dan perempuan hanya perbedaan biologis. Pandangan “menganaktirikan” perempuan yang sering dihubungkan dengan agama, maupun doktrin kultur. Agama dipandang telah memapankan “ ketimpangan” peran berdasarkan perbedaan jenis kelamin hanyalah tafsir yang salah. Ketimpangan itu perlu disikapi dengan kajian mendalam tentang kodrat perempuan dengan cermat.

Ya, perempuan tidak perlu dikasihani karena perempuan adalah makhluk yang punya potensi dan kemampuan. Perempuan memang kalah fisik tetapi tidak kalah kemampuan. Sejarah sudah membuktikan. Perempuan tidak perlu menangis, merengek karena itu hanya akan merendahkan perempuan sendiri. Tetapi, jangan lupa, Wadon nir Wadonira karana kaprabaweng slakarukmi”. Perempuan tidak boleh kehilangan kewanitaannya karena pengaruh perak dan emas. Dan, ”Wanita kuwi kudu anduweni suci ati, suci rupa, lan suci uni,” maka tak ada lagi tangis, ratapan perempuan. Tak kalah penting wanita harus berserikat dan berkumpul agar kuat. Keselamatan perempuan tidak cukup dengan terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Talam Rumah Tangga”. Tidak cukup hanya membaca Al-Quran surat An-Nisa’ atau membaca kitab Injil, taurat, Zabur. Atau bahkan hanya menyanyikan kidung Rumekso Ing Wengi atau hanya bersuara lantang di televisi, radio, jalan-jalan raya, di laut, atau bahkan hadapan Pak Presiden. Perempuan tetap sering di nista.

Meski demikian Marsinah tetap menggugat!

TAK DAPAT KU MENGERTI ; MENGAPA BUTUH PEREMPUAN?

Tak dapat ku mengerti ;
Ketika bulan-bulan kecil itu mulai bersinar
Dan lebih tak dapat ku mengerti;
Sebab bulan-bulan itu taat bersinar meski kembang-kembang itu telah lama mekar
Tidak juga layu
Tidak jua rontok
Hari ini tepat itu pula kutilis ini
Bulan itu agustus tepat aku mengiakan prasetya
Diantara janur kelapa muda yang tegak berdiri
Berkibar menjadi bendera-bendera
Tidak dari kain berwarna-warna
Tidak pula kertas-kerta seperti bendera kebanyakan orang-orang
Tetap itu jadi sejarah ruah
Tidak sekadar Catatan
Sebab tidak sedikit
bahkan puluhan pasang mata
Mengantarkan bulan tuk berpapasan
Berjabat, Berucap

Sudah terlalu tua
Lelah menunggu
Lelah mendatangi
Lelah mebelikan celana jin
Suntuk mendengarkan kaset gigi
Malu berboncengan karena tangan kecil itu terus saja bererat-erat
Atau sudah bosan berbaju kuning kembang bertulis bavanas itu

Sudah terlalu tua
Catatan bukan sejarah perjuangan bangsa
Sumpah bulan gadis dua belasan tahun lalu
Goresan kumpulan huruf-huruf yang panjang panjang
Petuah-petitih pekerja bangsa basi
” Saya nikahkan kamu ....”
Berkumandang ditengah kumpulan puluhan orang berpeci
Bersarung
Berdasi dengan memegang pena hitam dan buku yang akan ku beli mahal itu
Buku sejarah
Bukan buku orang-orang yang pernah berbohong
Bukan buku tulisaan orang-orang pendusta
Sebab ini aku tidak akan berdusta
Kami sudah terlalu tua
Tidak bermenit-menit
Ujung tangan itu menjulurkan tangan
Mengantarkan aku menjawab ” kuterima nikahnya ... ”
Gusti hari ini aku akan bersama gadis itu berpuluh-puluh tahun
Seratus atau beratus-ratus tahun meski mustahil
Mimpi

Kami sudah terlalu tua
Jangan kau tulis dengan arang!
Jangan pula kau paku tulisan meski hanya sehuruf dua huruf
Apalagi kalimat-kalimat panjang yang tak pernah kau dapati lagi
Bungkus rapat-rapat
Karena hari ini angin-angin akan terus berhembus
Tidak petang tidak juga terang benerang

Benamkan dalam-dalam
Kubur bersama perginya pagi hari yang terus melaju
Kami sudah terlalu tua


Tak dapat kumengeti, sampai hari ini, mengapa aku butuh perempuan?. Bukankah perempuan bikin repot karena perempuan hanya akan menjadi beban hidup. Bukankan hidup sendiri lebih enak? Pergi jauh, pulang pagi tak ada yang merasa ditinggal.

Tak dapat kumengerti sampai detik ini, mengapa aku pingin hidup dengan perempuan?
Apakah hanya untuk pemuas sahwat dan nafsu cinta? Bukankah hari ini untuk mendapatkan perempuan pemuas nafsu tidak sulit?
Di kampung, dijalan raya bahkan, di emper toko, dimana tersediakan dengan bungkus dan aroma berbeda. Bermacam-macam bodi dan kesing. Tersedia pula di pasar perempuan.

Remuk!
Mestikah aku kawin?
Tidakkah nyaman mengawini?
Rasululku, Nabiku, bersabda untukku dan orang-orang itu,
” Hai pemuda-pemuda, barang siapa yang mampu di antara kamu serta berkeinginan kawin, hendaklah dia kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”

Aku memang tidak kuat puasa

Tidak tahan melihat perempuan-perempuan pendusta
Tidak kuat dengan perempuan-perempuan berkepang pupu bersurban gulungan pita hitam.
Aku kawin!!

Tak dapat kumengerti sampai hari ini mengapa aku mengawini perempuan? Apakah hanya untuk mendapatkan keturunan?
Bukankah hari ini sangat mudah mendapatkan bayi-bayi kecil lucu di panti asuhan, rumah sakit, jalan-jalan, tempat sampah, sungai, laut, bahkan di kamar mayat.
Bayi-bayi korban perempuan penikmat sahwat.

Tak dapat ku mengerti, mengapa aku menikahi perempuan?
Aku memang mengawini perempuan, karena aku laki-laki, laki-laki hamba tuhan.
Rasululku, Rasul kita, Rasul kita semuanya, berhadis yang diriwayatkan oleh hamba Tuhan, Hakim dan Abu Dawut.
” Dari ’ Aisyah : ” Kawinilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta ( rezeki) bagi kamu ”

Ya, tak dapat ku mengerti?
Mengapa aku takut miskin?
Benarkah pemuda tidak bisa kaya?
Tak dapat ku mengerti

Tak dapat ku mengerti?
Mengapa istriku melahirkan anak lagi?
Bukankah istriku sudak berkesakitan pada kelahiran anak pertama?
Tidakkah kapok?
Atau mungkin isteri-istri keenakan tat kala melahirkan.

Tak dapat ku mengerti mengapa istriku tidak sesar? Bukankah melahirkan sesar lebih menguntungkan istri. Vagina tidak robek-robek?
Tidakkah juga aku lebih nikmat?.

Tak dapat ku mengerti, mengapa bayi-bayi itu saya besarkan. Bukankah aku berpayah-payah membeli baju, sepatu dan celana biru?

Tak dapat ku mengerti. Mengapa susu istriku harus kubagikan dengan anak kecil itu?
Bukankah menjadikan susu dan puting mungil indah itu menjadikannya kondor, mengkerut-berkerut-kerut bak buah jeruk purut?
Tidakkah banyak susu-susu bayi yang yang murah dan bermutu?
Firman Tuhanku, Al-Baqarah : 233
” Ibu-ibu menyusukan anak mereka selama dua tahun penuh bagi orang yang hendak menyempurnakan persusuan anaknya ”

Tak dapat aku mengerti mengapa aku beristri satu? Bukankan pada saat datang bulan, bersusah-susah aku?
Mengapa tidak poligamami?
Atau karena aku patuh dengan perintah Tuhan dalam surat An-Nisa’4 : )
” Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua, tiga, atau empat; jika kiranya kamu takut tidak dapat berlaku adil di antara mereka itu, hendaknya kamu kawini satu saja”

Mengapa istriku pilih satu aku?
Bukankah aku sering pergi?
Sering meninggalkannya hanya sekadar ngopi-ngopi bersama rekan dan kawan. Tidakkah kedinginankah ia
Mengapa tidak poliandri?
Bukankah poliandri lebih enak?
Atau karena harus ber- susah-susah orang menyebut nama dua atau tiga bin, bin.....
Ya ...bin Paijo bin Abdulah bin Rebo bin Santosa.
Atau singkatnya bin rame-rame..

Tanpa ku mengerti, itu aku.
Tanpa ku sadari aku dan istriku.

Tak dapat ku mengerti, kesadaranku telah hilang musna
Aku tidak muda lagi

Tak ku sadari hidup sekadar mampir ngombe
Umur berbatas dengan kesadaran

Gebyok, 23 November 2010

TUBUH PEREMPUAN MEDAN PERSELINGKUHAN

Perempuan! Perdebatan tentang perempuan dari hari ke hari terus terulang bahkan tak pernah surut atau pun habis. Perempaun memang menarik hingga siapa pun orangnya tertarik untuk membicarakan atau pun sekadar ngomong yang tak bermaksud memahami lebih dalam. Pencitraan tentang perempuan dari beberapa dekade mangalami perubahan yang dinamis. Betapa tidak karena perempuan selama ini atau mungkin seterusnya bahwa perempuan tercitrakan oleh zaman itu sendiri sebagai makhluk yamg memiliki tubuh yang seksi, seksual, erotik, menarik, merangsang, mendorong makhluk lain untuk melihat, memandang, menafsirkan, menikmati atau hingga berkeinginan untuk mengekploitasi sampai pada titik nadir. Habis gelap segelap-gelapnya.

Tubuh perempuan memang penuh simbul yang menghasilkan inspirasi menarik untuk beberapa kajian gender maupun obyek dari hasrat penguasaan. Maka tak sedikit atau barangkali tubuh-tubuh yang eksotik, seksi akan lebih banyak memberikan pencitraan yang substansinya jauh dari harapan atau pun tujuan pemilik tubuh. Makna dan pencitraan? Tujuan dan harapan kadang dari masing-masing perempuan tak mesti sama maka keindahan tubuh yang menjadi kunci pencitraan sebelum atau sesudah penilaian dari sudut padang lain yang menghasilkan beberapa inspirasi bagi para penikmat atau pun pemilik tubuh.

Bagaimana pencitraan tubuh jugun ianfu bagi militer jepang? Hingga penikmat tubuh itu harus menghilangkan sisa-sisa tubuh-tubuh jungun ianfu hingga tinggal sampah-sambah karena sari kenikmatan sudah habis-kikis ternikmati. Bagaimana pula propaganda orde baru “SOEHARTO” dan kroninya mencitrakan tubuh perempuan “ GERWANI” sebagai pelaku dalam pembunuhan sadis beberapa jendral dengan bernyanyi-nyaji genjer-genjer sambil bertelanjang bulat. Bagaimana pula peran perempuan dalam membantu perjuangan dalam rangka menyelesaikan program Sukarno “ Konfrontasi dengan Malaysia” bahwa perempuan di citrakan bukan sebagai aktifis-aktifis sukarelawati yang dimobilisasi dan dilatih militer dalam rangka penyerbuan ke Malaysia. Namun justru tubuh perempuan dikorbankan” SOEHARTO” sebagai tubuh yang harus membantu “ Pemberontak PKI” untuk melakukan tarian Harum Bunga lengkap dengan pengelucutan pakaian untuk menyiksa perwira yang diculik sekaligus penghibur tokoh politik “ anggota PKI”. Maka hingga kini pencitraan tubuh perempuan” Gerwani” bukanlah perempuan baik melainkan perempuan asusila yang berdampak pada pencitraan perempuan masa kini.

Kegelisah perempuan kian hari dan terus berjalan seiring dengan perubahan tahun yang terus mengubah paradigma tubuh perempuan. Tat kala tubuh Inul Daratista menggoyangkan negeri ini dengan goyang ngebornya sontak hukuman buat pemilik goyang ngebor itu gencar dilakukan. Namun hukuman fatwa haram buat pemilik goyang ngebor itu terus malanggeng hingga mewaris ke generasi berikutnya pemilik goyang patah-patah Anisah Bahar. Dewi Persik, Inul Daratista, Anisah Bahara dan perempuan dengan tubuh-tubuh itu malah meningkatkan popularitas denga fatwa haram dari syuriah NU Jawa Timur dan MUI pusat. Tubuh itu tetap tidak bergeming terus saja melenggak dan melenggok di atas panggung dan bahkan meningkatkat derajat panggung dari kampung ke hotel berbintang. Meski ormas-ormas terus menyudutkan dan menghakimi dengan berbagai fatwa.

Terlalu pendek! Penafsiran tentang tubuh perempuan sebagai perselingkuhan antara pemilik dan penikmat tubuh. Kenikmatan penikmat yang tidak diawali dengan kesepakatan pemilik justru akan menghasilkan pemerkosaan tubuh perempuan. Yah, Suharto memperoleh kenikmatan dengan ereksi yang terlalu cepat setelah menikmati citra tubuh perempuan yang tak menghadirkan sedikit pun peluang untuk sekadar mengurangi citra miring gerwani “ Perempuan Politik” untuk terformulasikan citra baru perempuan korban politisasi. Namun perselingkuhan kepentingan yang tidak didasari kesepakatan dua pihak yang terlibat justru akan menghasilkan sakit yang berkepanjangan, luka dalam jauh dari obat. Begitu sebaliknya pemilik tubuh yang terkadang melupakan tubuh perempuan lain hanya sekadar mendapatkan kepuasan batin yang berlatar perolehan materi mauupun sahwat belaka.

Maka tak sedikit perempuan-perempuan yang bukan sekadar mengawinkan terselubung, menyelingkuhkan kutubuh-tubuh itu dengan harapan yang diyakini mampu menghasilkan kenikmatan sesaat. Pematian dari makna keberadaan tubuh-tubuh oleh beberapa kepentingan atau bahkan pemaknaan tubuh yang dihilangkan melatar belakangi perempuan untuk mengawinkan atau bahkan menyelingkuhkan tubuh itu dengan beberap kepentingan. Terlalu naif jika menggunakan kata perkawinan karena perkawinan harus melibatkan beberapa pihak, wali, saksi, petugas pencatat dan harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah perkawinan. Bahkan sebagai wali, saksi dalam setiap proses perkawinan harus ada ijab setuju. Tidak mengherankan jika Maria Ozawa harus melakukan perselingkuhan dengan produser film porno untuk melakukan kontrak kerja pembuatan film yang harus mendatangkan perselisihan dengan kedua orang tua. Dengan tragis hasil perselingkuhan itu menghasilkan film yang merusak moral penghuni planet bumi hingga mendamparkan Maria Ozawa ” Miyabi” dari keluarganya.

Pengkontruksian tubuh perempuan sebagi barang kumedol akan mendorong lembaga, penyandang dana, politisi, agen reproduksi untuk bersama-sama melakukan perselingkuhan. Maka tak menherankan jika produk-produk yang tercipta di segala penjuru dalam segala iklan memanfaatkan eksotisme yang jauh lebih memikat pembeli untuk melakukan transaksi. Produk dan kualitas justru tidaklah begitu penting disajikan kepada calon penikmat yang justru lebih penting adalah menyajikan produk itu dengan erotisme, dan keseksian tubuh perempuan. Kecerdasan mengemas iklan yang tanpa menghadirkan peran perempuan dalam memamerkan tubuh perempuan tak terbayangkan. Begitu sulit dan bahkan tak akan semenarik perselingkuhan dengan tubuh-tubuh indah itu. Indah pastilah menarik, eksotis pastilah merangsang, merangsang modal awal perselingkuhan.

Maraknya legeslasi perempaun artis tidak selamanya terbangun dari kecerdasan perempuan “ Artis” melainkan karena politisi berusaha melakukan perselingkuhan dengan ketenaran perempuan dampak dari eksotisme. Perempuan, laki-laki mengenal Julia Peres sebagai calon bupati Pacitan tidak berasal dari kecerdasan yang dimilikinya, terlepas Julia Peres itu cerdas atau tidak, keseksian tubuh yang menjadi ketenaran itu. Bagaimana tokoh-tokoh politik untuk sekadar memporeleh keuntungan pribadi dengan melakukan perselingkuhan dengan tubuh-tubuh perempuan, memunculkan nama-nama menjadi penyanding partai dalam melakukan mobilisasi partai untuk meraih simpati pemilih atas misi-misi partai yang telah direncanakan atau bahkan telah ditetapkan. Masih adakah peserta kampanye yang datang bermaksud mengenali misi partai. Bukankah kedatangannya karena ingin menikmati goyangan tubuh penyanyi dakdut atau penari-penari latar yang nota bene seksi.

Kehidupan tidak sekadar menggunakan hak privat sebagai bagian dari hak asasi murni melainkan keterbatasan hak dengan kewajiban, keterbatasan hak dengan hak orang lain justru jauh lebih penting dari sekadar meraup keuntungan belaka. Perselingkuhan justru akan mengaburkan pemaknaan eksploitasi, penetrasi, pemerkosaan, atau bahkan segala bentuk kekerasan yang berbau gender. Anda yakin jika iklan yang menghadirkan produk “Hand Phone” itu menyandingkan produk itu dengan tubuh perempuan merupakan bentuk eksploitasi, atau bahkan merendahkan citra perempuan sebagai makhluk cerdas. Bukankah perselingkuhan merupakan pilihan cerdas? Konyol!

Jangankah HP, produk makanan ringan, permen, yang hanya berharga Rp 75,00 perbiji harus menghadirkan perempuan dengan tubuh seksi mulut bergoyang-goyang bak perempuan binal yang mangajak untuk selingkuh atau menarik untuk diperkosa. Tidak cukup itu, pantat yang hanya tertutupi oleh pakaian trens Asmatisasi turut mengugah selera masklulin dengan goyang patah-patah atau goyang ngebor Inul Daratista. Permen, tubuh perempuan awal dan akhir perselingkuhan!

Senin, 28 Februari 2011

Perempuan Korban Kekerasan Gender

Perempuan Korban Kekerasan Gender

Betapa mirisnya siang itu tatkala terdengar lantunan sajak-sajak Burung Burung Bersayap Air,

“…….Hidup terlalu pendek, tiba sawah tak menghidupkan, menjual tubuh selayak sarjana menjual otak, sambil diranjam cerca sepanjang masa, hidup terlalu pendek, diperkosa pembeli, dipajakin penguasa, sambil meneteki tukang ojek, tukang warung dan pemilik losmen, hidup terlalu pendek, berkelompok agar tak gugur, berteater mengajak warga melek pinta mereka, sambil ditunggu uang susu sama anak, uang rokok sama suami, …..hidup terlau pendek ….”

Pagi itu terus berjalan, perempuan itu tetap bertahan, mengepalkan tangan, menyusun kekuatan. Hadir ditengah-tengah mereka beberapa pejuang untuk perempuan seperti, LSM APIK, LRC-KJHAM ( Legal resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi manusia), dan masih banyak lagi perempuan muda yang berapi-api melantangkan suara di tengah gerombolan itu.

Disana terjadi pertumpahan pikiran untuk mengajak perempuan berserikat atau sekadar mencurahkan kegelisahannya. Dan barang kali itu yang aku tangkap. Yah, perempuan itu memang terbangun setelah lama ditidurkan atau bahkan terhasut oleh janji dan mimpi. Terlihat perkasa, maklum, perempuan itu memang otaknya pintar dan luas pengalaman. Pengalaman sebagai buruh migran atau bahkan korban perkosaan.

Sebagai perempuan tangguh seperti Dewi Nova pejuang gender sekaligus penulis sajak-sajak yang kali itu sedang dibedah. Tak terbesit luka atau tak terdengar tangis meski laporan kekerasan jender dari tokoh LRC KJHAM di Jawa Tengah begitu mengejutkan. Betapa tidak, dari tahun ke tahun terus saja meningkatkat. Lembaga itu berkesimpulan akhir bahwa, ternyata ” Pemerintah Jawa Tengah Lamban, Kasus Terus Meningkat.” yah meningkat, jika itu pembangunan maka semua yang hadir bertepuk riuh. Namun karena yang meningkat bukan prestasi justru kekerasan terhadap perempuan. Begitulah laporan terkini dari lembaga yang menangani masalah kekerasan berbasis gender itu. perempuan-perempuan itu terlihat menundukkan kepala bak merenungi masa depan.

Kecemasan terus meninggi kala itu. Sepuluh Desember dua ribu sepuluh para perempuan menyoal, mengapa kekerasan perempuan sering terjadi? Siang itu seolah-olah menjadi renungan para perempuan aktivis seperti LBH Apik, LBH Semarang, KPI, Setara, JPPA, Perisai.

Suara lantang perempuan dari LRC-KJHAM terus membacakan Data Kekarasan terhadap Perempuan di Jawa tengah meski yang lainnya menunduk. Data terkini dalam kurun waktu November 2009-November 1010 terdapat 629 kasus dengan korban 1118 korban. Data lengkapnya sebagai berikut :

TAHUN JENIS KASUS JUMLAH KASUS KORBAN PELAKU KORBAN MENINGGAL
2010 Perkosaan 202 229 301 6
KDRT/Isteri 207 210 209 16
KDP 111 130 133 14
Pel. Seksual 12 56 13 0
Buruh Migran Perempuan 46 51 86 19
Prostitusi Perempuan 40 417 - -
Perdagangan Perempuan 11 25 24 -
Jumlah 629 kasus 1118 Korban 766 Pelaku 55 Korban meninggal
2019 Perkosaan 207 224 338 5
KDRT/Isteri 149 149 149 17
KDP 101 119 126 5
Pel. Seksual 16 21 22 -
Buruh Migran Perempuan 44 86 Majikan PJTKi 14
Prostitusi Perempuan 71 429 95 3
Perdagangan Perempuan 23 59 54 -
Jumlah 611 Kasus 1087 Korban 784 Pelaku 44 Korban meninggal

Aku yakin itu tidak betul. Bohong! Mana mungkin data seperti itu dapat diterima. Bukankah itu hanya angka-angka yang mushil orang menuliskan data dengan tepat! “Seperti anak kecil saja dapat ditipu dengan angka statistik yang orang dapat sesuka hati menulis,” lirih batinku. Sepenting desertasi sarjana pun dapat diothak-athik murih gaduk, agar tetap pas dengan hipotesis.

Bukankah negara sudah begitu progresif dengan segala bentuk pengaduan? Responsif betul negara ini, Indonesia! Mengapa perempuan-perempuan itu terus menyoal tentang peran negara dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan? Lihat betapa responsifnya pemerintah. Tidak berbulan-bulan pemerintah langsung merespon tatkala, masyarakat mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus Sumiati. Buruh migran di negara kaya minyak yang telah disobek-sobek mulut dan dilukai vaginanya itu. Sontak kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono muncul dan meninggi bahkan secepat kilat mendesak pemerintah langsung mengambil sikap lewat menteri tenaga kerja. Maka Muhaimin Iskandar dengan sigap merealisasi program akibat dari desakan pemerintah atas kasus Sumiati. Lantas, Muhaimin Iskandar mengeluarkan program HP bagi perempuan migran. Maka, mokal kalau korban terus meningkat. Perempuan-perempuan yang tak pernah mengerti dan tak mau berterima kasih kepada pemerintah.

Bukankah dengan program HP, para perempuan itu, akan begitu mudah mengadu kepada Bapak Presiden tercinta kita Susilo Bambang Yudoyono. “ Pak SBY, tolong! Hari ini saya diperkosa!” Pak SBY tolong hari kemarin aku paksa untuk menemani tidur majikan lelaki dan tiga anak lelakinya! “celetuk Kang Puthu nara sumber dalam bedah karya sajak-sajak Dewi Nova.

Tulisan bisa di pesan sesuai kebutuhan, siapa pun dapat mengubah atau bahkan menambah data sesuai kebutuhan. Yah, orang dengan mudah menambah atau mengurang data agar kelak dapat digunakan energinya. Begitu getolnya pemerintah memperhatikan perempuan migran, namun para perempuan masih banyak yang menyudutkan peran pemerintah. “ Dasar perempuan tak mau di untung?” seruku.

Data tentang catatan kejahatan gender sebetulnya hanya angka-angka yang akan termentahkan oleh penalaran yang kadang memang tidak masuk akal ini. Jika dalam logika terdapat prasangka buruk, misalnya di setiap hari ada satu kasus di setiap kabupaten kota di Jawa Tengah maka selama setahun sudah ada puluhan ribu kasus.

Perhatikan saja berapa ribu pengguna jasa perempuan di Jawa tengah ini, maka sebetulnya, beribu-ribu pula kekerasan yang berbau gender dengan berbagai motif yang selalu menyudutkan perempuan. Tidakkah perempuan-perempuan perek yang beroperasi di jalan, warung remang-remang, jembatan seharian harus bergelut dengan kekerasan. Penjual jamu, sales profesional girl, tukang pijet, salon kecantikan, ibu rumah tangga, istri siri, istri simpanan, isteri sejati, tiap perubahan detik terus berjuang melawan kekerasan gender.

Data itu memang pantas diterima dan masuk akal karena data itu untuk korban yang melapor. Sedangkan korban yang tak pernah melapor dan hilang bersama raganya itu yang tak dapat dicatat. Atau data orang pinggiran yang benar-benar terpinggirkan sudah begitu kebal dengan kekerasan. Persetan data, lakukan tindakan nyata.

Berapapun jumlahnya, perempuan korban kekerasan yang berbau gender sebetulnya harus menjadi perhatian bersama. Bukankah setiap orang tidak membedakan jenis kelamin berhak untuk hidup yang memadahi untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosialdan berhak atas jaminan saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. Demikian bunyi Deklarasi Hak Asasi Manusia pasal 25. Namun, bagaimana dengan hak warga negara Indonesia? Lengkap, justru lebih lengkat dari pada itu.

Negara kita tercinta punya UUD,45, punya UU No 23 Tahun 1992, punya UU No 7 Tahun 1984, Punya UU No. 11 tahun 2005, punya Presiden, punya menteri peranan wanita, punya menteri kebudayaan, punya kebijakan daerah, punya menteri hukum dan Ham, punya DPR, MPR dan punya..... Punya kekerasan perempuan yang terus meningkat, punya pejuang devisa, punya ibu rumah tangga. Dan punya hati nurani... kekerasan terhadap perempuan harus segera enyah dari mimpi....

Perempuan korban kekerasan baik yang diperkosa maupun yang disiksa gunakan HP bukan untuk meminta tolong kepada siapa pun termasuk kepada menteri tetapi gunakan HPmu untuk mengakses informasi yang dapat menambah wawasan agar kelak menjadi perempuan unggul yang kretif dan mandiri.

EMANSIPASI KELUAR GELANGGANG

Gembar-gembor perempuan memperjuangkan persamaan gender terus berkumandang. Berbagai momen yang berkait erat dengan perempuan terus ditancapkan yang barang kali itu diharapkan mampu menggedor pintu-pintu pengekang perempuan. Namun simbol-simbol yang menjadi pintu penggedor justru sebaliknya sebagai pengukuh bahwa perempuan itu berkodrat sebagai makhluk yang hanya mampu macak, masak dan manak. Bukankah itu malah sebagai pengerdilan cita-cita yang telah lama diperjuangkan oleh Kartini?

Banyak kegiatan yang berkait erat dengan perempuan misalkan saja, peringatan Hari Kartini, Hari Ibu, Hari ASI. Belum lagi simbo-simbol lain yang menenmpatkan perempuan sebagai subjek . Terbitnya beberapa bacaan khusus berceloteh tentang gender, majalah, tabloit, bahkan koran pun menyediakan banyak ruang yang khusus membahas tentang gender.

Yah, saya sebagai lelaki sebenarnya sangat miris melihat gejala-gejala pemahaman emansipasi hanya sekadar pemahaman perempuan dari sudut pandang jenis kelamin dan rutinitas tugas yang mesti dilakukan menurut tradisi di wilayahnya. Hal ini begitu kentara saat aku disuruh menjadi juri pada peringatan hari ibu di kampung kami Gebyok, Ngijo Gunungpati, Semarang. Ibu-ibu yang berorganisasi dalam wadah PPK itu, dimaknai sebagi kumpul-kumpul untuk ngrumpi, berceritan tentang, baju, celana, pembalut atau hanya sekadar pamer kecantikan. Bahkan beberapa peringatan yang berkaitan dengan perempuan selalu berlingkup pada persoalan memasak, dan macak. Lomba yang tak menggambarkan kecerdasan.

Di tengah kerasnya genderang gender ditabuh ibu-ibu malah beruforia lewat lomba yang tak bikin cerdas.

Betapa menangisnya, Kartini, jika menyaksikan ulah perempuan yang tidak terjerumus pada kegiatan seremonial seperti mengenakan jarit, memasak nasi goreng, membuat makanan dari ketela. Bukankah itu kegiatan rutinitas harian yang syarat dengan pembodohan pemaknaan emansipasi. Simbul-simbul! Hari gini lomba nglempit baju, masak nasi goreng, nyetrika? Memalukan! Mah, itu sudah kebiasan, say? Sindir perempuan yang terlahir sebelum bangsa ini terbebas dari penjajahan.

Paradigma emansipasi yang salah kaparah itu akibat kekeliruan persepsi kaum perempuan dalam memaknai kaidah persamaan gender. Bukankah emansipasi tidak dipahami sebagai proses yang sebenar-benarnya dan utuh? Yah, Emansipasi sebenarnya lebih dimengerti sebagai usaha untuk menyamakan persamaan hak dan kewajiban dalam berbagai sendi kehidupan ( persamaan hak kaum wanita dan laki-laki). Jika tidak dimaknai secara utuh, justru menimbulkan tafsir yang jauh lebih berbahaya ketimbang makna sebelumnya. Bagaimana tidak? Jika perempaun sudah diletakkan pada hak sebagai makhluk yang hanya berkecimpung di dapur dan kasur maka perempuan akan sulit untuk berkiprah di sendi kehidupan lain.

Perempuan harus keluar dari jeratan bahkan kalau bisa harus keluar dari perbudakan. Emansipasi sebenar-benarnya merupakan usaha pembebasan yang selama ini memang belum terbebas atau bahkan memang dibuat untuk tidak bebas. Menjadi budak! Kegelisahan perempuan seharusnya muncul sehingga kegiatan yang dilaksanakan tidak semata-mata kegiatan ” panas-panas tahi asu” kotoran yang menjijikan atau bahkan meracuni.








Menjadi perempuan tangguh adalah solusi. Perempuan secara genetik saja sudah tertindas. Bandingkan kodrat perempuan dengan kemampuan dasar yang dimiliki lelaki sangat jauh perbedaanya. Lihat dan badingkan baik secara fisik maupun kemampuan lain, perempuanlah memang sangat lemah dan rentan terhadap penindasan. Fisik kalah, akal kalah, nalar kalah, semuanya serba kalah. Jika itu tidak dipahami sebagai motivasi untuk bangkait maka perempuan akan berada pada titik nadir.

Perempuan yang membaca tulisan ini mesti akan anyel dan memfonis penulisnya ngawur, tidak melihat kenyataan. Justru penulis menulis ini karena melihat kenyataan yang ada sekarang. Nah para pembaca yang baik sebelum banyak berkomentar tentang tendensi penulis jawab pertanyaan ini pilih ya atau tidak! Lebih banyak mana jumlah perempuan tertindas dengan laki-laki? Perempuan bodoh dengan lelaki bodoh berkelahi menang mana? Berapa jumlah presiden perempuan? Lebih banyak mana dengan presiden laki-laki?
Padahal jumlah perempuan lebih banyak. Berapa jumlah perempuan penderita HIV-AIDS? Lebih sedikitkah? Berapa jumlah TKI perempuan yang mengalami penyiksaan? Berapa jumlah perempuan yang dijadikan gundik, istri simpanan, perempuan kontrak, pemuas sahwat dan perempuan korban penindasan lainnya. Lebih sedikitkah?

Penulis yakin bahwa, tidak akan ada lagi tangis perempuan seperti Sumiati karena digunting bibir manisnya dirobek vaginanya hanya karena tidak ada kepedualian pemerintah Indonesia terhadap perempuan migran. Perempuan jangan sangat berharap kepada siapa saja, termasuk kepada SBY karena samapean hanya akan sekadar dijanjikan HP. Bukankah para perempuan sudah mampu membeli puluhan HP lewat perusakan-perusakan vagina dan isapan puting manisnya dari lelaki-lelaki pemuas nafsu. Tidaklah itu yang harus diderita buruh migran kita.

Halo, Pak SBY, Saya diperkosa di jemban Mina? Tolong jemput kami, Pak!
Selamat malam Pak SBY, malam ini saya dan ribuan temanku berada di Malaysia dengan kaki pincang dan kemaluan berdarah-darah, tiga lainya lumpuh, lima puluh dua hamil, empat puluh tujuh geger otak, dan ribuan lainnya menunggu kepedulian pemerintah? Pulangkan saja, Pak?
Gerakan perempuan untuk melakukan penyadaran memang tidak perlu menunggu siapa-siapa. Tak ada yang peduli. Tuhan tidak akan merubah kaumnya, yang bisa merubah hanyalah kaum itu sendiri. Jangan lihat dirimu sebagai perempuan yang hanya melihat keberhasilan beberapa perempuan tetapi tengok berapa jumlah perempuan yang teraniaya?

Memahami Tugas Perkembangan Anak

Setiap anak dalam perkembanganya memiliki tugas yang berbeda-beda. Pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk membantu anak dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Apalagi sebagai orang tua akan membimbing anak untuk mewujudkan impian, pemahaman tugas perkembangan menjadi harus.
Mengapa kita perlu memahami tugas perkembangan? Menurut Carol Gestwicki bahwa perkembangan itu dapat diramalkan karena ada urutan dari masing-masing tugas perkembangan. Untuk itu urutan itu harus dipahami karena dari masing-masing tahap akan saling mempengaruhi. Ada waktu-waktu yang obtimal dalam perkembangan anak jika ini dipahami betul dan kita sebagai orang tua mampu memberikan tugas yang tepat pada masa itu maka anak akan menyelesaikan tugas itu dengan baik.
Perkembangan anak itu sebenarnya merupakan hasil interaksi antara kematangan biologis dengan faktor-faktor lingkungan. Maka anak beri kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan karena lingkungan akan memberikan arah perkembangan anak. Kematangan hanya sebagai prasyarat dalam menyelesaiakn tugas perkembangan.
Seluruh aspek dalam perkembangan anak maju berkelanjutan secara bersama-sama. Kegagalan tugas perkembangan pada satu aspek akan mempengaruhi aspek yang lain. Anak yang putus cinta akan malas belajar. Anak yang dikekang dengan membatasi teman bergaul akan menjadi sombong atau bahkan sebaliknya minder.
Jangan paksakan anak untuk menyelesaikan tugas perkembangan yang belum waktunya. Anak mempunyai waktu yang berbeda dalam mencapai kematangan. Justru akan berbahaya jika kita membandingkan anak hanya berpatokan pada usia. Anak mempunyai karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hal itu yang memungkinkan terjadinya perbedaan dan pilihan-pilihan dalam menentukan perlakuan.
Sebagai orang tua tidaklah tergesa-gesa dalam memberikan perlakuan terhadap anak karena perkembangan mempunyai pola. Perkembangan anak berjalan teratur dari yang sederhana ke yang komplek. Pemahaman yang tepat mestinya tidak akan memaksa anak untuk menyelesaikan tugas yang belum mampu untuk diselesaikan. Misalnya, jangan paksa anak usia taman kanak-kanak untuk menulis karena usia tersebut bukan saat yang tepat untuk belajar menulis. Meskipun dapat pula anak seusia TK dapat belajar menulis karena kematangan anak memang sudah mancapai kesempurnaan pada masa itu. Tetapi tidak lantas kematangan anak yang satu menjadi rujukan untuk memperlakukan anak yang lainnya seperti anak tersebut.
Kegagalan perkembangan pada masa sebelumnya akan menjadi bencana pada tugas perkembangan berikutnya. Jangan paksa harimau untuk terbang tetapi jadikanlah harimau itu menjadi hewan yang benar-benar perkasa.
Berikut ini beberapa contoh tugas perkembangan anak. Tugas perkemabangan afektif pada manusia yang disampaian oleh Erik H. Erikson. Tahap pertama Tahap Trust vs Mistrus (0-1 tahun) ini memerlukan tempat yang aman bagi dirinya guna menghilangkan keresahan, meningkatkan rasa tolong menolong, sikap menolak, tidak percaya diri yang dapat meningkatkan rasa aman,. Usaha yang dilakukan orang tua dengan cara memenuhi kebutuhan fisik seperti minum susu, di buai, diajak bicara.
Fase kedua, fase Autonomy vs Shame and Doubt/Otonomi ( 1-3 th) munculnya kemampuan motoris dan mental anak. Anak sudah mampu berjalan, memanjat, menutup membuka, menjatuhkan, menarik dan mendorong, memegang dan melepaskan. Anak mempunyai kebanggaan karena ketrampilan ini sehingga berkeinginan untuk melakukan banyak hal. Orang tua mestinya sadar bahwa anak butuh melakukan sendiri, memberi kesempatan karena dengan terlalu banyak mengendalikan justru akan menciptakan perasaan tidak percaya diri atau ragu-ragu. Orang tua harus sabar!
Fase ketiga, Fase Initiantives vs Guil/Inisiatif ( 3-5 th ). Anak sudah memiliki kemampuan untuk merespon sesuai dengan kemampuan gerak motorik. Kemampuan itu akan lebih membuat anak mempunyai inisiatif dan kreatif jika orang tua mampu memberikan dorongan, kebebasan dalam dimensi sosial untuk berkreasi dan berinisiatif pada permainan motorik serta memberikan jawaban yang memadai dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ( intelectual inititive) maka inisiatifnya akan berkemabang pesat.
Fase ke-empat Industry vs Inferiority /Produktifitas (6-11th) anak sudah mulai berfikir deduktif dan belajar menurut peraturan yang ada. Dimensi psikososial yang muncul adalah (sense of industri, sense of inferiority). Anak sudah mampu membuat, melakukan, mengerjakan sesuatu dengan benda-benda yang praktis hingga selesai dan menghasilkan produk. Rasa ingin menghasilkan sesuatu dapat dikembangkan pada usia ini.
Fase ke-lima, fase Identity vs Role Confusion /Identity (12-18th). Anak sudah memiliki kematangan fisik dan mental. Ia memiliki perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan tubuhnya. Ia mulai dapat berfikir tentang orang lain, tentang apa yang dipikirkan orang lain, dan bahkan berfikir tentang dirinya. Sehingga muncul; ego identity / role confusion. Peran orang tua harus memberi kesempatan kepada anak untuk mengintegrasikan apa yang telah dialami dan dipelajari tentang dirinya sehingga mampu menunjukkan kontinuotas dengan masa lalu dan siap menghadapi masa datang.
Fase ke-enam Face Intimacy vs Isolation / Keakraba ( 19-25 th) kemampuan anak untuk berbagi rasa dan memperhatikan orang lain. Kesadaran ini muncul dengan lewat peran orang tua atau orang lain. Bahkan jika tidak ada orang lain maka akan muncul isolation yakni kesendiri tabpa adanya orang lain untuk berbagi rasa dan saling memperhatikan.
Face ke-tujuh Face Generavity vs Self Absorption/Genersi (25-45th). Orang sudah mulai memikirkan orang-orang lain di luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi akan datang serta masyarakat dan dunia tempat generasi hidup
Face ke-delapan Face Integrity vs Despair/Interitas ( 45-....) manusia sudah mendekati kelengkapan. Timbul Integrity, kemampuan individu melihat kembali kehidupan masa yang lalu. Rekapitulasi perkembangan afektif manusia meruypakan tahapan yang terpadu. Keberhasilan perkembanga sebelumnya akan berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya.
Begitu juga kemampuan verbal dan kemampuan motorik, orang tua haruslah paham. Apalagi pada anak usia dini yang perlu perlakuan istimewa karena pada masa itu merupakan usia emas. Pendidikan akan sangat berpengaruh dan berhasil baik jika orang tua mampu memberikan pengaruh sesuai dengan tugas perkembangan (masa peka).
Tak ada satu pun anak yang pingin dilahirkan cacat. Anak pingin dihargai, dicintai, diakui, dipuji, dimotivasi. Anak mempunyai spirit, percaya diri, cita-cita, dan tidak ingin menjadi beban orang lain.
Karena sebenarnya hidup adalah cita-cita dan perjuangan untuk mewujutkan jati diri dan keberadaannya. Maka jangan dikatakan bawel jika anak-anak kita sering bertanya, atau jangan dikata bikin ulah jika anak-anak kita sering bermain menyusun gelas hingga bertumpuk-tumpuk hingga roboh dan pecah. Alihkan kegiatan mereka yang bermanfaat dan tidak berbahaya.
Anak harus dihindarkan dari rasa susah, kecewa, sedih, malu, kecil hati, benci sehingga anak akan besar hati, tidak merasa menjadi beban orang lain, percaya diri, berspirit, damai dan tenang.
Anak bukan orang dewasa yang lahir langsung mampu berbuat tetapi melalui proses panjang. Jangan selalu menyalahkan anak atas kesalahannya.